Angin senja dan mentari yang hampir tenggelam di barat menemaniku meyusuri jalan-jalan di kota bandung. Akhirnya aku pulang juga ke rumah. Beberapa waktu aku berkelana. Tapi akhirnya pulang juga.Sebenarya aku merasa malas untuk pulang ke kampung halaman. Meski rasa rindu terus membebani hari-hari, aku tetap merasa malas untuk pulang. Bukan karena jarak yang harus ditempuh, tapi karena aku selalu yakin, jika aku pulang, maka rentetan pertanyaan menyebalkan akan tertuju kepadaku.
Langit bertambah gelap, motor yang kupacu dengan kecepatan sedang membelah jalanan. Cimahi. Akhirnya aku sampai di kota aku dilahirkan. Sesampai di depan rumah, seorang lelaki yang rambutnya sebagian sudah memutih menyambutku. Pria yang kupanggil bapak menyambutku. Nampaknya dia akan pergi ke mesjid, adzan magrib memang tengah berkumandang.
Malam pertama di rumah kulalui dengan selamat. Hanya pertanyaan biasa yang diutarakan oleh keluargaku. Tak ada pertanyaan yang menyebalkan yang harusku jawab.
Namun, segala yang bermula baik, ternyata tak selalu berakhir baik. Keesokan harinya aku pamit. Seorang teman melangsungkan pernikahan. Aku memutuskan untuk datang. Alasanku datang sebenarnya sepele, aku ingin bertemu dengan teman kerjaku yang lain. Sudah cukup lama aku tak bertemu dengan mereka.
Baru ketika langit menghitam aku kembali di rumah. Aku kembali bersama keluarga. Kami berbincang-bincang, sebelum pertanyaan yang kutakutkan kembali terlontar. Kapan kamu menikah? Pacaran dengan siapa sekarang? Gimana dengan pacar yang kemaren, yang katanya usianya 19 tahun? Sudah bertemu dengan orangtuanya belum?
Pertanyaan menyebalkan. Aku memutar otak. Bagaimana harus kujawab pertanyaan itu. Tapi otakku tak bisa diajak kompromi. Tak ada jawaban rekayasa yang bisa kuutarakan. Aku hanya diam.
Ibuku melihat ke arah ku. Aku tak bisa membalas tatapannya. Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaan itu. Ada seorang wanita yang sekarang dekat denganku. Tapi aku tak bisa membuka identitas wanita itu. Aku tak ingin keluargaku kecewa.
Di kala mulutku diam, hatiku sebenarnya menjawab. “Ada Bu, aku sedang dekat dengan seorang wanita,†jawabku. Memoriku kemudian mencoba mengingat, kapan aku bertemu dengan wanita itu.
Enam bulan yang lalu. Ya enam bulan yang lalu. Aku bertemu dengannya di sebuah tempat di kota tempatku bekerja. Tangan kanannya mengapit sebatang rokok. Kami pun mengobrol. Kemudian dia meminjam telepon genggamku. Mengirim pesan singkat kepada seseorang, dan tak lupa dia menyimpan nomornya di telepon milikku.
“Save ya, nama saya rika,†ujarnya mengenalkan. Waktu menunjukan jam 10 malam. Agak heran sebenarnya mengapa wanita secantik dia berada di luar rumah saat malam semakin larut. Tapi sebelum pertanyaan terlontar, dia sudah pergi.
“Aku harus pergi. Kapan-kapan ketemu lagi ya,†katanya sebelum pergi. Aku pun mengangguk. Lama tak bertemu, malam akhirnya kembali mempertemukan kami. Masih di tempat yang sama. Kami pun kembali berbincang.
Ia mengaku datang dari daerah Pasirwangi. Tempat yang cukup jauh dari tempat kita mengobrol. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke sini dari tempat tinggalnya. Apa sebenarnya yang membawa wanita cantik berbaju sedikit terbuka ke tempat ini ketika malam semakin pekat? Dan malampun jadi saksi aku jatuh cinta kepada wanita ini.
Malam itu aku berkesempatan mengantarnya. Bukan untuk pulang, melainkan ke sebuah tempat. Katanya itu tempat paling asik menghabiskan malam. Dia kemudian minta turun di depan sebuah tempat. Aku mengenal tempat tersebut. Beberapa kali aku pernah ke tempat ini. Tempat itu selalu hingar bingar. Musik dangdut memekakan telinga. Dan di meja, tamu yang datang meminum minuman keras. Untuk berbicara kita harus mendekat, karena kerasnya musik dan suara penyanyi yang penampilannya sangat seksi.
Ia turun dari motor, kemudian mengecup pipiku dan menghilang di balik pintu masuk. Ada ragu kala itu. Tapi perlahan dapat kutepis. Aku pun rutin bertemu wanita yang kuanggap cantik itu.
Kadang kami melalui malam bersama. Kehangatan yang ditawarkannya menghanyutkanku untuk melalui malam bersama. Bibir kami bertemu. Hingga dosa pun kembali terbuat.
Hingga kini aku masih berhubungan dengan dia. Hingga Ibu bertanya Kapan kamu menikah? Pacaran dengan siapa sekarang? Ingin aku menjawab jika aku sebenarnya sudah punya pacar. Rika, seorang wanita malam yang kutemui di sudut Garut. Yang kehangatannya mampu membuatku selalu rindu. Aku rindu saat dia melenguh “Aahhh,†di kupingku.
Tapi aku tak bisa jujur. Entah sampai kapan aku merahasiakan hal ini kepada keluargaku. Jika aku sebenarnya mempunyai kekasih seorang wanita malam. Dimana alkohol dan rokok sangat akrab dengannya. Asap sering mengepul dari bibirnya. Ahhh. Andai saja aku berani mengatakannya. “Bu, pacarku seorang wanita malam…â€
Aku kemudian memilih keluar rumah. Melihat bulan dan bintang yang menghiasi malam dan kemudian membayangkan wanita malam itu berada di sisiku menawarkan kehangatan yang selalu kurindukan.
from http://nosferatu.web.id/?p=16